Demikianlah yang tertulis di tas sekolahku, meja belajarku, dan juga pintu kamarku. Artinya : anak laki-laki pantang menangis. Itu yang terukir di hati dan pikiranku setiap kali masalah menghadang. Ibu yang mengukirkan kata-kata magis penuh makna itu di kehidupanku semenjak ayah meninggalkan aku dan ibu 5 tahun silam. Ibu berharap banyak padaku. Sangat banyak. Aku bangga dibuatnya. Itu awalnya…
Roda kehidupan bergulir mengiringi hari yang berganti. Ada yang berbeda dengan diriku semenjak aku mengenal Angel. Perkenalan singkat nan penuh arti. Ia begitu manis sekaligus menyenangkan pada pertemuan pertama kami ditengah derasnya hujan yang mengguyur SMU tempat kami menuntut ilmu. SMU ku dan dia. Kami berbeda sekolah, tapi letak sekolah kami bersebelahan. Tidak ada halangan untuk sering bertemu. Pertemuan-pertemuan kami berikutnya adalah kumpulan kisah penuh suka dan keinginan untuk terus bersama dalam suka maupun duka. Untukku, entah dia merasakan hal yang sama atau tidak, kombinasi segala rasa yang terjadi antara aku dan dia memunculkan dua sisi negative dari diriku yang selama ini tidak pernah aku biarkan untuk tumbuh subur.
Itu adalah : cemburu dan cengeng.
Dua kata yang kebetulan mempunyai huruf depan yang sama.
Cemburu datang setiap kali aku dikesampingkan olehnya karena kesibukannya yang tidak menghendaki kehadiranku disisinya. Yang janjian dengan teman-teman satu kelompoknya-lah, yang acara keluarga tidak berkesudahan-lah. Aku kerap kesal dibuatnya.
Sejak mengenalnya, aku juga menjadi kerap menulis perasaanku lewat sebuah puisi. Romantis menurutku, cengeng menurut Bowo, teman sebangkuku.
‘Andi yang aku kenal tuh cowok macho, boy who never cry, bukan penulis syair melankolis nan mendayu-dayu begini’ kata Bowo menggodaku.
Aku frustrasi dengan segala carut-marut perasaan ‘memilikiku’ yang begitu mendalam terhadap Angel.
Ada kalanya harapan beterbangan di hadapan kita bak kupu-kupu yang siap ditangkap kapan saja. Namun ada pula saat dimana harapan hanyalah berupa jutaan bintang di angkasa yang membentuk rasi bintang indah penentu nasib yang hanya dapat dipandang tanpa pernah dapat diraih.
Aku menatap sang rasi bintang pujaanku malam itu. Meski ia tidak tahu aku sedang memandangnya. Ia sibuk bergelayut di pundak Bowo, teman sebangkuku, di sebuah pusat perbelanjaan. Belajar kelompok, alasannya padaku sehari sebelumnya.
Pantaskah aku marah ? Adilkah baginya ?
Mungkinkah rasa yang selama ini aku miliki untuknya tidak pernah sampai di hatinya ? Terlalu sulitkah baginya untuk hanya sekedar memahami rasa ini ?
Aku memutuskan untuk memendam segala kecewa hatiku. Memaksa kumpulan air yang siap untuk turun menjadi hujan dari ujung mataku tidaklah tumpah. Boys don’t cry, Andi, ingat ! Wajah ibu kala menumpahkan harapan besarnya kepadaku, anak semata wayangnya, terbayang jelas dimataku.
Aku berjalan gontai ke arah halte angkutan umum. Kaki ini serasa sulit dijejakkan ke atas trotoar dingin malam itu.
Sesampai di rumah, kulihat cahaya lampu remang-remang kamarku masih menyala. Ia belum tidur. Ia selalu setia menantiku pulang. Ani, wanita yang sedang mengandung buah hatiku, membukakan pintu rumah yang kami tempati setahun belakangan ini. Rumah mungil yang telah ditinggalkan ibu, pemiliknya, hanya sehari setelah ia mengetahui bahwa bukit harapan yang ia bangun selama ini kandas bersama dengan kehadiran menantu yang terpaksa diterimanya.
Oleh Nastitidenny